Beranda » Arsip untuk April 2011
Makalah : Konsep Dasar Pendidikan Islam
Diposting dalam
Aqlamuna
|
Rabu, 20 April 2011|
Admin
Oleh : Dani Hidayat
Pendidikan Islam adalah usaha-usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam baik dalam bentuk bimbingan rohani maupun jasmani, mewujudkan terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian utama serta kesuksesan di dunia dan akhirat.
Qur’an. Makalah: download disini
Tafsir Al-Qur’an ; Kajian Singkat Atas Metode Tafsir Ijmali
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman, sehingga membuat kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini sangat absah menjadi referensi kehidupan umat manusia. Karena menurut Rahman al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia sekaligus sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas universal kehidupan dan masalah spritualitas, tetapi juga menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia yang unik dalam sepanjang kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbun dei (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya. Proses penurunan wahyu dalam kurun waktu tersebut dilakukan dengan cara bertahap sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat pada masa Nabi, sehingga terangkum menjadi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Sebagai firman Allah, Al-Qur’an merefleksikan firman Allah yang memuat pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, Al-Qur’an memang menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan substansial dari makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.
Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi rangkaian ayat yang terdiam, karena al-Qur’an yang berwujud mushaf dan tidak lebih dari kumpulan huruf-huruf yang tidak akan mampu memberikan makna apa-apa, sebelum diajak berbicara. Hal ini merupakan konsekwensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an – dalam pandangan kaum hermeneutis – merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
Upaya menemukan makna ideal di balik suratan ayat al-Qur’an tersebut membutuhkan kerja-kerja penafsiran yang total, karena kehadiran al-Qur’an yang tersurat tidak disertai dengan kehadiran makna substansial di dalamnya. Allah sepertinya memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk menginterpretasi isi al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya, dengan tetap berpijak pada visi dasar al-Qur’an sebagai rahmatan lil alamin. Artinya setiap penafsiran yang dilakukan harus selalu dirujukkan pada visi dan arah kehadiran al-Qur’an ke muka bumi ini, sehingga setiap penafsiran yang dilakukan minimal mendekati terhadap apa yang ingin disampaikan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya. Oleh karena itu, Islam, al-Qur’an dan penafsiran merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dalam istilah Edward W. Said, tidak akan ada Islam tanpa al-Qur’an ; sebaliknya, tidak akan ada al-Qur’an tanpa Muslim yang membacanya, menafsirkannya, mencoba menerjemahkannya ke dalam adat istiadat dan realitas-realitas sosial.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam adalah metode Ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan tahlili)yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.
Metode Tafsir Ijmali
1.Definisi
Secara definitif, metode ijmali (global) ialah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, mufasir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
2.Tujuan dan Target
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
3.Mekanisme Penafsiran
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
1.Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
2.Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
3.Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.
4.Ciri Metode Ijmali
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain. Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’i (tematik).
Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.
Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada proses dan bentuknya yang mudah dibaca, dan sangat ringkas serta bersifat umum, sehingga bisa terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat. Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang diganderungi, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an.
Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak.
Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.
Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks “ telah diperkosa” untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali.
Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada uhasa untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun nuzul) secara tepat.
Kedua, hegemoni penafsir. Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.
Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).
Terlihat dengan jelas dari tafsir yang dilakukan oleh Suyuti, penambahan huruf “la” yang berfaidah ‘nahi’, secara otomatis menafikan terhadap keta kerja setelahnya, dan tentu saja sangat berdampak terhadap pembalikan makna yang ada pada teks. Bagaimana mungkin teks yang aslinya berarti “ bagi orang-orang yang mampu”, kemudian harus dimaknai dengan “ bagi orang-orang yang tidak mampu”.
Apa yang terjadi dalam tafsir Jalalain (yang merepresentasikan penafsiran dengan metode ijmali) di atas, merupakan bagian dari alasan adanya hegemoni berlebihan seorang mufasir dalam menginterpretasi teks. Hal itu terjadi, dalam metode ijmali selain karena metode ini lebih mengedepankan tafsir terhadap kata, metode ijmali juga tidak memberikan ruang yang bebas untuk menginterpretasi, sehingga mufasir cenderung membatasi dalam untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran lain, selain ide dan gagasannya sendiri. Akibatnya, gagasan tafsir sang mufasir menjadi gagasan tafsir yang tampak paling terbenarkan dan sangat hegemonik.
Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.
Tetapi, metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.
Al-Qur’an memberikan hak otonom kepada siapapun untuk menafsirkan ayat-ayatnya secara kreatif guna menemukan makna-makna ideal yang diinginkan oleh al-Qur’an. Kebebasan membaca dan menafsirkan al-Qur’an ini, tentu saja bisa dilakukan dengan cara apapun yang dimiliki oleh setiap individu.
Dari sinilah, al-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan global, memungkinkan setiap individu menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan dilakukan, karena setiap mufasir bukanlah makhluk super yang tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.
Akhirnya, penulis sangat sepakat dengan gagasan Abdul Mustaqim, dalam menghadapi berbagai corak penafsiran yang harus dilakukan. Pertama, bersikap kritis dalam melihat produk tafsir tersebut : karena setiap kemungkinan bisa terjadi, baik kemungkinan ada hidden interest dan ada penyimpangan di balik penafsiran yang dilakuakn. Kedua, apabila arguemn tafsir mereka sangat kuat, kita harus menghargai dan menghormati, walaupun tidak harus mengikuti, karena kemungkinan setiap corak (metode) penafsiran tersebut memiliki kemungkinan benar, minimal kebenaran partikuler-realatif tentatif.
Daftar Pustaka
Adnan Amal, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an . Jakarta : Alvabet, 2005
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir . Bandung, Pustaka Setia, 2008
adz-Dzahabi, Muhammad Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir, Dar al-Maktub, 1976
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an . Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2002
__________________ Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000
Hamid Abu Zaid, Nasr. Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyin. Yogjakarta : LKiS,2002
Hay al-Farmawi, Abdul. Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Mauhu’iy. Kairo : Al-Hadharah aal-Arabiyah, 1977
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta : Paramadina, 1996
Harb, Ali. Kritik Kebenaran. Yogjakarta, LKiS, 2004
Izutsu, Toshihiku .Realasi Tuhan dan Manusia. Yogjakarta : Tiara Wacana, 2003
Kholis Setiawan, M. Nur. “Al-qur’an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer”, dalam Studi Al-Qur’an. Vol. 1, No. 1, Januari 2006
Mustaqim, Abdul. Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarkhi. Yogjakarta : Sabda Persada, 2003
________________ Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008
Rahman, Fazlur . Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996
Redaksi Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 18 Tahun 2004
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi. Jakarta : Teraju, 2002
Said, Edward W. Covering Islam. Terj. Apri Danarto. Yogjakarta : Jendela, 2002
Suhaidi RB, Mohammad. Dekonstruksi Tafsir Gender Al-Qur’an : Telaah Kritis Atas Tafsir Feminin Aminah Wadud Muhsin dan Asghar Ali Engineer. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman An-Nuqayah (STIKA), 2007
Syaba, A. Nasikhin Menafsirkan ‘jalalain’ : Tafsir Bayani dan Problem Substansi”, dalam Jurnal Gerbang, vol. 6. No. 3 Pebruari-April 2000
Shihab, Qurays. “Membumikan Al-Qur’an” : Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 2006
Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman, sehingga membuat kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini sangat absah menjadi referensi kehidupan umat manusia. Karena menurut Rahman al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia sekaligus sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas universal kehidupan dan masalah spritualitas, tetapi juga menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia yang unik dalam sepanjang kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbun dei (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya. Proses penurunan wahyu dalam kurun waktu tersebut dilakukan dengan cara bertahap sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat pada masa Nabi, sehingga terangkum menjadi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Sebagai firman Allah, Al-Qur’an merefleksikan firman Allah yang memuat pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, Al-Qur’an memang menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan substansial dari makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.
Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi rangkaian ayat yang terdiam, karena al-Qur’an yang berwujud mushaf dan tidak lebih dari kumpulan huruf-huruf yang tidak akan mampu memberikan makna apa-apa, sebelum diajak berbicara. Hal ini merupakan konsekwensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an – dalam pandangan kaum hermeneutis – merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
Upaya menemukan makna ideal di balik suratan ayat al-Qur’an tersebut membutuhkan kerja-kerja penafsiran yang total, karena kehadiran al-Qur’an yang tersurat tidak disertai dengan kehadiran makna substansial di dalamnya. Allah sepertinya memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk menginterpretasi isi al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya, dengan tetap berpijak pada visi dasar al-Qur’an sebagai rahmatan lil alamin. Artinya setiap penafsiran yang dilakukan harus selalu dirujukkan pada visi dan arah kehadiran al-Qur’an ke muka bumi ini, sehingga setiap penafsiran yang dilakukan minimal mendekati terhadap apa yang ingin disampaikan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya. Oleh karena itu, Islam, al-Qur’an dan penafsiran merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dalam istilah Edward W. Said, tidak akan ada Islam tanpa al-Qur’an ; sebaliknya, tidak akan ada al-Qur’an tanpa Muslim yang membacanya, menafsirkannya, mencoba menerjemahkannya ke dalam adat istiadat dan realitas-realitas sosial.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam adalah metode Ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan tahlili)yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi beberapa kitab tafsir.
Metode Tafsir Ijmali
1.Definisi
Secara definitif, metode ijmali (global) ialah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, mufasir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
2.Tujuan dan Target
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
3.Mekanisme Penafsiran
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
1.Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
2.Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
3.Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.
4.Ciri Metode Ijmali
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain. Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’i (tematik).
Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.
Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada proses dan bentuknya yang mudah dibaca, dan sangat ringkas serta bersifat umum, sehingga bisa terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat. Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang diganderungi, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an.
Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak.
Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.
Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks “ telah diperkosa” untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali.
Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada uhasa untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun nuzul) secara tepat.
Kedua, hegemoni penafsir. Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.
Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).
Terlihat dengan jelas dari tafsir yang dilakukan oleh Suyuti, penambahan huruf “la” yang berfaidah ‘nahi’, secara otomatis menafikan terhadap keta kerja setelahnya, dan tentu saja sangat berdampak terhadap pembalikan makna yang ada pada teks. Bagaimana mungkin teks yang aslinya berarti “ bagi orang-orang yang mampu”, kemudian harus dimaknai dengan “ bagi orang-orang yang tidak mampu”.
Apa yang terjadi dalam tafsir Jalalain (yang merepresentasikan penafsiran dengan metode ijmali) di atas, merupakan bagian dari alasan adanya hegemoni berlebihan seorang mufasir dalam menginterpretasi teks. Hal itu terjadi, dalam metode ijmali selain karena metode ini lebih mengedepankan tafsir terhadap kata, metode ijmali juga tidak memberikan ruang yang bebas untuk menginterpretasi, sehingga mufasir cenderung membatasi dalam untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran lain, selain ide dan gagasannya sendiri. Akibatnya, gagasan tafsir sang mufasir menjadi gagasan tafsir yang tampak paling terbenarkan dan sangat hegemonik.
Penutup
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.
Tetapi, metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.
Al-Qur’an memberikan hak otonom kepada siapapun untuk menafsirkan ayat-ayatnya secara kreatif guna menemukan makna-makna ideal yang diinginkan oleh al-Qur’an. Kebebasan membaca dan menafsirkan al-Qur’an ini, tentu saja bisa dilakukan dengan cara apapun yang dimiliki oleh setiap individu.
Dari sinilah, al-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan global, memungkinkan setiap individu menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan dilakukan, karena setiap mufasir bukanlah makhluk super yang tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.
Akhirnya, penulis sangat sepakat dengan gagasan Abdul Mustaqim, dalam menghadapi berbagai corak penafsiran yang harus dilakukan. Pertama, bersikap kritis dalam melihat produk tafsir tersebut : karena setiap kemungkinan bisa terjadi, baik kemungkinan ada hidden interest dan ada penyimpangan di balik penafsiran yang dilakuakn. Kedua, apabila arguemn tafsir mereka sangat kuat, kita harus menghargai dan menghormati, walaupun tidak harus mengikuti, karena kemungkinan setiap corak (metode) penafsiran tersebut memiliki kemungkinan benar, minimal kebenaran partikuler-realatif tentatif.
Daftar Pustaka
Adnan Amal, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an . Jakarta : Alvabet, 2005
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir . Bandung, Pustaka Setia, 2008
adz-Dzahabi, Muhammad Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir, Dar al-Maktub, 1976
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an . Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2002
__________________ Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000
Hamid Abu Zaid, Nasr. Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyin. Yogjakarta : LKiS,2002
Hay al-Farmawi, Abdul. Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Mauhu’iy. Kairo : Al-Hadharah aal-Arabiyah, 1977
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta : Paramadina, 1996
Harb, Ali. Kritik Kebenaran. Yogjakarta, LKiS, 2004
Izutsu, Toshihiku .Realasi Tuhan dan Manusia. Yogjakarta : Tiara Wacana, 2003
Kholis Setiawan, M. Nur. “Al-qur’an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer”, dalam Studi Al-Qur’an. Vol. 1, No. 1, Januari 2006
Mustaqim, Abdul. Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarkhi. Yogjakarta : Sabda Persada, 2003
________________ Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008
Rahman, Fazlur . Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996
Redaksi Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 18 Tahun 2004
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi. Jakarta : Teraju, 2002
Said, Edward W. Covering Islam. Terj. Apri Danarto. Yogjakarta : Jendela, 2002
Suhaidi RB, Mohammad. Dekonstruksi Tafsir Gender Al-Qur’an : Telaah Kritis Atas Tafsir Feminin Aminah Wadud Muhsin dan Asghar Ali Engineer. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman An-Nuqayah (STIKA), 2007
Syaba, A. Nasikhin Menafsirkan ‘jalalain’ : Tafsir Bayani dan Problem Substansi”, dalam Jurnal Gerbang, vol. 6. No. 3 Pebruari-April 2000
Shihab, Qurays. “Membumikan Al-Qur’an” : Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 2006
Download E-Book
Diposting dalam
Download
|
Senin, 18 April 2011|
Admin
Untuk mendownload silahkan klik pada judul, masukkan kode verifikasi lalu klik download.
EBOOK :
Bagaimana Menyentuh hati
Beberapa rahasia al-Quran
Kaidah-kaidah memahami hadits musykil
Cerita untuk anak cerdas
Istifta 1.1
Terjemah Tafsir Jalalain
Pembaharuan Pemikiran Persatuan Islam
Bulughul Maram Versi 2.0
Persis Offline 2.0
Ensiklopedi Tokoh Islam
MP3 CERAMAH
Ruh Shaum Ramadlan - Ust. Dedeng
SOFTWARE
Teka Teki Silang
Tajwid
Kamus Mufid
Planetarium Gold
WinHisab
EclipseCalc
Faraidl
EBOOK :
Bagaimana Menyentuh hati
Beberapa rahasia al-Quran
Kaidah-kaidah memahami hadits musykil
Cerita untuk anak cerdas
Istifta 1.1
Terjemah Tafsir Jalalain
Pembaharuan Pemikiran Persatuan Islam
Bulughul Maram Versi 2.0
Persis Offline 2.0
Ensiklopedi Tokoh Islam
MP3 CERAMAH
Ruh Shaum Ramadlan - Ust. Dedeng
SOFTWARE
Teka Teki Silang
Tajwid
Kamus Mufid
Planetarium Gold
WinHisab
EclipseCalc
Faraidl
Kaidah Istifham dalam Ilmu Tafsir
Diposting dalam
Materi
|
Jumat, 01 April 2011|
Admin
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai sumber yang asasi dan tertinggi bagi ajaran Islam meskipun diturunkan dengan memakai bahasa Arab sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an itu sendiri yang artinya “…sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” namun dalam menetapkan hukum, membuat perumpamaan, ataupun memberi pengajaran ia memiliki uslub yang berbeda dengan uslub yang biasa dipakai oleh bangsa Arab. Dia mempunyai corak dan bentuk tersendiri yang umumnya berbeda dengan yang biasa dilafadzkan oleh orang Arab. Hal ini merupakan bukti bahwa Al-Qur’an bukan dibuat oleh manusia (Muhammad) yang kemudian diperjelas oleh ayat yang berbunyi :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka datangkanlah (buatlah) satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Qs. Al-Baqarah/2:23)
Jika diperiksa dan diteliti nyatalah bahwa uslub Al-Qur’an itu bermacam-macam. Dalam hal menyuruh, melarang, dan memberi hak hamba memilih. Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya menjadi 10 uslub untuk suruhan, 9 uslub untuk larangan, dan 3 uslub untuk yang memberikan hak kepada kita untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
Melihat kenyataan bahwa Al-Qur’an memiliki bermacam-macam uslub dan sangat kaya akan gaya bahasa, maka bagi seorang mufassir yang hendak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibutuhkan profesionalitas yang tinggi dengan meninggalkan subjektifitas dan emosional yang dapat mempengaruhi hasil penafsiran, mendahulukan penafsiran dengan Al-Qur’an, Sunnah dan Atsar, mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku, memiliki ilmu-ilmu antara lain: (1) Lughah Arabiyah (bahasa Arab); (2) Gramatika bahasa Arab; (3) Ilmu ma’ani, bayan dan badi’; (4) dapat menentukan yang mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui sebab nuzul dan nasakh; (5) mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dan yang sepertinya; (6) ilmu kalam; (7) ilmu qira’at dan disiplin ilmu lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ayat dan sebagainya.
Salah satu kaidah diantara kaidah-kaidah yang wajib diketahui oleh seorang mufassir yang hendak menafsirkan al-Qur’an adalah kaidah Istifhām.
Pengertian
Istifhām adalah mashdar dari istafhama, atau dari kata fahima yang berarti faham, mengerti, dan jelas. Akar kata ini mendapat tambahan alif, sin, dan ta’ di awal kata yang salah satu fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian, ia berarti meminta penjelasan (talab al-fahmi). Sedangkan menurut istilah, Istifhām adalah mencari pemahaman tentang suatu hal yang tidak diketahui. Atau istifhām adalah mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah, serta sifat dari suatu hal. Istifhām dengan berbagai maknanya memiliki satu maksud pokok, yaitu mencari pemahaman tentang suatu hal. (Drs. Ahsin W. Al-Hafidz, MA., 2008:127)
Istifham merupakan bagian terpenting yang termasuk kedalam Insya’. Insya’ yaitu sesuatu yang dengan pembicaraan itu menghasilkan suatu petunjuk pada sesuatu yang diluar. Sedangkan kebalikannya dinamakan khabar.
Adawat Istifham
Sebagaimana kaidah-kaidah bahasa Arab lainnya, istifham juga memiliki Adawat (adat-adat) sebagai ciri khas yang dapat membedakannya dengan kaidah lainnya, diantaranya:
1. Huruf hamzah ( ء ) : Pengunaan huruf hamzah pada ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk menghadapi atau memberikan pengertian kepada orang yang ragu-ragu atau mendustakan.
2. Hal ( هل ) : Salah satu fungsi penggunaan hal ( هل ) yaitu untuk pengingkaran dan maknanya adalah menafikan kalimat sesudahnya.
3. Maa ( ما ) : digunakan untuk menuntut definisi hakikat yang ditanyakan.
4. Man ( من ) : penggunaan Man ( من ) menuntut penentuan yang ditanyakan berupa isim atau sifat yang berakal.
5. Kam ( كم ) : digunakan untuk menanyakan jumlah.
6. Kaifa ( كيف ) : menanyakan hal (keadaan).
7. Aina ( اين ) : menanyakan tempat
8. Annaa ( أن ) : terkadang bermakna min aina (dari mana).
9. Mataa ( متى ) : menanyakan waktu.
10. Ayyana ( أيان ) : menanyakan waktu.
Para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Imam Jalaludin As Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an menyebutkan, “semua pertanyaan di dalam Al-Qur’an itu hanya terjadi pada pembicaraan Allah, dalam pengertian bahwa para pendengar memiliki pengetahuan untuk menafikan atau menetapkannya.”
Faidah Kaidah Istifham
Diantara faidah dari kaidah istifham dalam ayat al-Qur’an antara lain:
1. Untuk pengingkaran dan maknanya adalah untuk menafikan kalimat sesudahnya. Karena itulah pertanyaan ini dapat diikuti oleh Illa (إلا ), seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“… Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Qs. Al-Ahqaf/46:35)
2. Untuk menjelekkan. Sebagian ulama memasukkan hal ini ke dalam bagian pengingkaran. Tetapi yang pertama berupa pengingkaran untuk membatalkan dan yang kedua adalah pengingkaran untuk menjelekkan, seperti Firman Allah Ta’ala:
“… dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? …” (Qs. Fathir/35:37)
3. Membawa pendengar untuk menetapkan dan menyetujui sesuatu hal yang telah terjadi padanya. Firman Allah Ta’ala:
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (Qs. Adl-Dluha/93:6-7)
4. Untuk takjub dan membuat takjub, seperti:
“mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (Qs. Al-Baqarah/2:28)
5. Untuk menyindir, seperti Firman Allah Ta’ala:
“semoga Allah mema'afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (Qs. At-Taubah/9:43)
6. Untuk memberikan peringatan. Firman Allah Ta’ala:
“Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", (Qs. Yaasiin/36:60)
7. Untuk membanggakan diri, seperti:
“…Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; Maka Apakah kamu tidak melihat(nya)?” (Qs. Az-Zukhruf/43:51)
8. Untuk membesar-besarkan, seperti:
“….Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya;…” (Qs. Al-Kahfi/18:49)
9. Untuk menakut-nakuti, seperti:
“hari kiamat, Apakah hari kiamat itu” (Qs. Al-Qari’ah/101:1-2)
10. Kebalikannya, yaitu untuk memudahkan dan meringankan, seperti:
“Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka ? ….” (Qs. An-Nisaa/4:39)
11. Untuk memberikan ancaman, seperti:
“Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu?” (Qs. Al-Mursalat/77:16
12. Untuk membuat banyak, seperti:
“betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, Maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.“ (Qs. Al-A’raf/7:4)
13. Untuk membuat sama, yaitu: suatu pertanyaan yang masuk kepada sebuah kalimat yang dapat digantikan dengan mashdar, seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (Qs. Al-Baqarah/2:6)
14. Untuk memerintahkan, seperti:
“…Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam"…. (Qs. Ali Imran/3:20)
15. Untuk memberi peringatan, seperti:
“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang ….” (Qs. Al-Furqan/25:45)
16. Untuk menumbuhkan kecintaan, seperti:
“siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak….” (Qs. Al-Baqarah/2:245)
17. Untuk larangan, seperti:
“….Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Qs. At-Taubah/9:13)
18. Untuk do’a. dan ini seperti larangan, tetapi do’a itu (bertingkat-tingkat) dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, seperti:
“…Apakah Engkau membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? ….” (Qs. Al-A’raf/7:155)
Maksudnya adalah, “Semoga Engkau tidak mengahncurkan kami”.
19. Untuk meminta petunjuk, seperti:
“…Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (Qs. Al-Baqarah/2:30)
20. Untuk Tamanni, seperti:
“…Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan (ke dunia) sehingga Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami amalkan?"…. (Qs. Al-A’raf/7:53)
21. Untuk menganggap lambat, seperti:
“….Bilakah datangnya pertolongan Allah?….” (Qs. Al-Baqarah/2:214)
22. Untuk memaparkan, seperti:
“….Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? ….” (Qs. An-Nuur/24:22)
23. Untuk memberikan dorongan, seperti:
“Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?...” (Qs. At-Taubah/9:13)
24. Untuk menunjukkan sikap masa bodoh, seperti:
“mengapa Al Quran itu diturunkan kepadanya di antara kita?...” (Qs. Shad/38:8)
25. Untuk mengagungkan, seperti:
“….siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya?….” (Qs. Al-Baqarah/2:255)
26. Untuk mengejek, seperti:
“…Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhan-mu?", Padahal mereka adaIah orang-orang yang ingkar mengingat Allah yang Maha Pemurah.” (Qs. Al-Anbiya/21:36)
27. Untuk menunjukkan rasa cukup, seperti:
“…Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (Qs. Az-Zumar/60)
28. Untuk menganggap jauh, seperti:
“…dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.” (Qs. Al-Fajr/89:23)
29. Untuk menunjukkan sikap ramah tamah, seperti:
“Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?” (Qs. Thaahaa/20:17)
30. Untuk membungkam mulut dan menghinakan, seperti:
"Apakah kamu tidak makan? kenapa kamu tidak menjawab?" (Qs. Ash-Shaffat/37:91-92)
31. Untuk menegaskan, seperti :
“Apakah (kamu hendak merobah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka?” (Qs. Az-Zumar/39:19)
Kesimpulan
Bagi seorang mufassir yang hendak menafsirkan al-Qur’an wajib mengetahui kaidah istifham, yaitu mencari pemahaman tentang suatu hal yang tidak diketahui atau mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah, serta sifat dari suatu hal.
Adawat Istifham antara lain, huruf hamzah, hal, maa, man, kam. kaifa, aina, annaa, mataa, ayyana.
Sedangkan tujuan dari kaidah istifham dalam ilmu tafsir adalah untuk memberikan pengertian kepada para pendengar dan memiliki pengetahuan untuk menafikan atau menetapkan suatu ayat Al-Qur’an.
Maraji’
Abduh, Daud Athiyah, DR., Kamus Al-Mufradat 3000 Kata yang Paling Sering Muncul dalam Kitab Arab Gundul, terjemah Abu Umar Abdillah, Klaten: Wafa Press, 2008
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2006
Hafiz, Ahsin W, al-, Drs., Kamus Ilmu Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2008
Suyuthi, Jalaluddin, as-, Al-Itqan fi Ulum al-Quran Jilid III, terj. Farikh Marzuqi Ammar, Lc, MA. dkk, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008
IKUTI UPDATE BLOG INI VIA EMAIL
Banyak dilihat
-
Oleh : Dani Hidayat Pendidikan Islam adalah usaha-usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam baik dalam bentuk bimbi...
-
Pendahuluan Al-Qur’an sebagai sumber yang asasi dan tertinggi bagi ajaran Islam meskipun diturunkan dengan memakai bahasa Arab sebagaimana d...
-
Pendahuluan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar ...
-
Untuk mendownload silahkan klik pada judul, masukkan kode verifikasi lalu klik download. EBOOK : Bagaimana Menyentuh hati Beberapa rahas...
Komentar Pengunjung